Senin, 07 November 2011

JEJAK KERJA KERAS BAPAKKU

Wajahnya mulai keriput. Namun dibanding beberapa bulan sebelumnya, pipi bapakku terlihat lebih tembem dan badannya lebih berisi. Usianya mungkin sekitar 63 atau 64 tahun. Kenapa tidak aku bilang angka pasti, karena tidak ada catatan tertulis tanggal, bulan dan tahun berapa bapakku lahir. "Bapak mu lahir saat Zaman Bledugan," cerita nenekku dulu. Beberapa waktu kemudian baru aku tahu kalau zaman bledugan itu artinya zaman waktu Belanda datang kembali untuk menjajah Indonesia. Seingatku ya kisaran 1947 atau 48. Tanggal dan bulan berapa? tidak ada yang tahu.Bapakku lahir dipengungsian, saat Belanda menyerang daerahku.

Bapak meminta aku dan adikku untuk pulang saat libur Idul Adha kemarin. Dia ingin memberi tahu letak sawah dan kebun yang dia milikki, "mumpung dia masih segar," memberikan alasan. Sebenarnya waktu kecil, aku dan adikku sering diajaknya, tapi kami sudah lupa, karena sudah lebih 20 tahun kami tak menginjakkan kami di sawah dan kebun milik keluarga kami.

Membandingkan harga tanah di kampungku dan Jakarta sangatlah jauh, bagai langit dan bumi. Lahan seluas 2500 M2, harganya sekitar 5-6 juta, di Jakarta bisa milyaran rupiah. Tapi betapapun kecil harga jual tanah yang bapak milik, tetap saja aku bangga dengan apa yang dia milikki, yang merupakan hasil jerih payah dan kerja keras dia dan almarhum ibuku.

Foto adikku di areal perkebunan"Sudah sih nanti foto-fotonya," sergah Bapakku, melihat kami sibuk berfoto ria. Buat kami menginjakkan kembali di areal persawahan atau perkebunan menjadi peristiwa langka, karena itu kami ingin mengabadikannya. "Sambil jalan bapak ingin ngobrol sama kalian, ada yang ingin Bapak ceritakan," ujarnya. Kami pun mendekat dan mulai berbincang dengan akrab. Sesekali bapakku selalu mengingatkan kami. "Awas kena duri!" Dalam hati aku menjawab, "Kami sudah gede Pak, masih aja diingetin". Tapi aku tidak mengucapkannya, karena aku tahu itu adalah bentuk sayang dia kepada kami.

Daerah pertama yang kami datangi namanya Pamahan, yang berjarak sekitar 5 KM dari tempat tinggal kami. Saat kami sampai di lokasi, ada sepasang suami istri yang sedang bekerja, mereka adalah keluarga yang menggarap tanah kami. Mereka masih sanak saudara kami, sawah kamipun berdampingan dengan miliknya. Karena bapak tidak sempat menggarapnya, bapak meminta keluarga tersebut sekalian menggarapnya.

Bersama penggarap kebun."
Ini Warsa, ini Carlan," bapakku mengenalkan kami. Ada rasa senang mereka bertemu kami. Karena perjalanan kami masih jauh, kami tidak lama ngobrol. Setelah berfoto kami segera pamit.

"Sekarang ke mana Pak?" tanyaku. "Ke Dangkolong," jawabnya. "Enggak ke Lojok Kanon dulu?" tanyaku kembali. "Ke Dangkolong dulu, baru ke sana," jawab Bapakku.

Lojok Kanon nama yang selalu ku ingat, karena ada peristiwa dramatis yang menimpa keluarga kami. Salah seorang adik kakek kami meninggal di sana. Namanya Sarnab. Masalahnya meninggalnya dengan cara yang tragis. Kejadiannya saat aku belum lahir. Cerita nenekku suatu kali saat Kakek Sarnab sedang mencangkul dia menemukan benda asing, sebuah besi dengan bentuk lonjong memanjang.

Peluru Kanon, orang di desaku menyebutnya. Karena dianggap adik kakekku peluru kanon tersebut sudah tidak aktif, dia-dia memukul-mukulnya. Tiba-tiba Duarrr suara ledakan besar menggelegar. Tubuh adik kakekku terpencar ke mana-mana terkena ledakan tersebut. Nenek ku yang berada tidak jauh menjerit sekeras-kerasnya. Orang-orang yang berada sekitar daerah tersebut berdatangan, tapi tidak ada yang berani melakukan apapun, karena merasa ngeri melihatnya. Hanya nenekku yang berani mengumpulkan bagian-bagian tubuh yang berpencar tersebut, tentu saja sambil menangis.

Dangkolong.
Kami sampai di Dangkolong, tanah keluarga kami ada di bagian pinggir sebuah bukit kecil. Bapak menanaminya dengan pohon jati. Pohonnya masih kecil-kecil karena baru ditanam lima tahun lalu.

Kamipun tidak lama di sini, dan segera melanjutkan ke Lojok Kanon. Di Lojok Kanon kami sempet diskusi, bukan tentang peristiwa ledakan Kanon, karena sudah beberapa kami mendengar ceritanya. Kami mendiskusikan hal yang akan dilakukan terhadap tanah tersebut, karena masih kosong. Akhirnya kami bersepakat untuk menanam pohon jati juga.

Tak lama kemudian kami segera beranjak menuju Kepek Loncer. Saat menuju Kepek Loncer inilah tiba-tiba bapakku berkata; "Diantara anak-anak Bapak, yang paling bandel itu Carlan. Tapi kalau Warsa sama Jabar, paling sering minta dibeliin mainan,sampai numpuk," ujarnya. "Tapi walaupun bandel, Carlan yang paling suka bekerja," timpal adikku. "Eittt nanti dulu," aku memotong. "Kamu tidak pernah ngerasain jadi anak angon (anak gembala), kakak yang selalu disuruh gembalain sapi kalau libur sekolah," ucapku menimpali.

"Benar Pak?" tanya adikku sangsi. "Iya, tapi nyuruh kakak ngangon sapi tidak mudah. Bapak atau Ibu biasanya harus marah dulu, baru kakak mau. Sampai pernah saking marahnya Bapak melempar kakak dengan tahi sapi. Tapi setelah itu Bapak menyesal. Dan sebenarnya kalau Bapak melihat dari jauh kakak sedang menggembala sapi, hati bapak sedih. Bapak menangis dalam hati, karena sebenarnya Bapak enggak ingin anak-anak Bapak jadi gembala seperti Bapak. Bapak tahu itu berat," ucapnya dengan suara yang semakin pelan, terasa ada emosi penyesalan dalam hatinya.

Aku sendiri terdiam mendengar cerita bapak, ada rasa terharu mendengar ungkapan Bapak. Pikiranku melayang ke masa silam, saat aku bersikukuh enggak mau menggembala sapi yang membuat Bapak marah. Dan aku ingat, kalaupun ibuku juga marah, melihat aku dilempar, dia berteriak dan segera memeluk aku, dia ikut menangis, dan berbalik membentak Bapakku. "Apa-apaan sih Pak!" bentak ibu kepada bapak. Sambil membawa aku menjauh dari Bapak.

Paristiwa itu memang buatku juga membekas, tanpa diceritakan kembali oleh bapakku, aku juga masih ingat. Dan menurutku peristiwa itu menjadi noda kasih sayang seorang Bapak kepada anaknya, yang entah mengapa aku juga tidak bisa melupakannya.

Sampai akhirnya hari kemarin aku mendengar penyesalannya, ada rasa haru dan bahagia yang tak terhingga. Bahwa sebenarnya dia juga berat menyuruh anaknya menjadi penggembala sapi. Dalam hati aku berjanji, mulai saat ini aku akan melupakan peristiwa itu. Kalaupun nanti masih tetap ku ingat, justru melihatnya sebagai ungkapan sayang Bapakku terhadap aku. Dan hari-hari ini aku sangat-sangat sedang merasakannya.

Di belakang tampak gunung Kepek Loncer.
Tanpa terasa kami sudah sampai di Kepek Loncer. Sebutan Kepek Loncer pada daerah itu sebenarnya merujuk pada gunung di dekatnya yang bernama Kepek Loncer. Ketika aku tanyakan kepada bapak, kenapa disebut gunung kepek loncer, bapakku menjelaskan bahwa arti kepek itu berasal dari kata lepek. "Payudara yang lepek." jelasnya. "Sedangkan loncer artinya adalah terlepas. Nah sebenarnya yang dikatakan kepek loncer itu adalah sumber air yang ada di pinggir gunung itu, yang tidak pernah kering kalaupun musim kemarau. Arti harpiahnya adalah sumber air yang terlepas dari gunung yang lepek," jelas bapak, sedikit panjang menjelaskan.

Kami telah sampai di daerah Keser. Daerah tersebut sudah dengan rumah tinggal kami. Tapi kami tidak langsung pulang, kami menuju Sawah Gede. Sawah Gede merupakan areal persawahan yang dialiri oleh air irigasi yang berasal dari Waduk Malahayu. Sebuah waduk dengan kisaran panjangn dan lebar masing-masing sekitar 6 KM. Waduk tersebut dibangun saat Indonesia masih dijajah Belanda. Dalam prasastinya diresmikan tahun 1935. Mungkin itu salah satu projek kerja rodi pada masa penjajahan Belanda. Surya Dharma, mantan Ketua Umum YISC pernah aku ajak mengunjunginya.

Menurutku Sawah Gede adalah satu-satunya areal produktif yang ada di desaku. Produktif karena setiap saat bisa ditanami apa saja, karena ada sistem pengairannya. Kalau kebun dan sawah yang sebelumnya aku kunjungi, adalah lahan yang mengandalkan perairannya pada air hujan. Tapi sayangnya, lahan produktif tersebut samakin hari semakin sempit, karena terdesak oleh rumah-rumah warga.

Jam tiga kami sampai di rumah, sekitar 5 jam kami melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Lelah, tapi aku sangat bahagia. Tidak aku perdulikan lecet-lecet pada kakiku, demikian juga dengan adikku. Kami telah menapai jejak kerjakeras bapak dan ibuku.

Saat kami akan kembali ke Jakarta, aku memeluk erat bapakku, diapun membalasnya. Setiap aku mengencangkan pelukanku, diapun melakukan hal yang sama. Kami seolah tidak ingin melepas kehangatan dan rasa sayang yang ditimbulkannya. Semakin erat, semakin aku merasa bahagia. Ada air mata yang ku tahan, sesaat setelah pelukan kami terlepas. Sesaat kemudian bapakku kembali memegang kepalaku, mengusapnya. "Hati-hati ya," ucapnya pelan. Akupun mengangguk, tanpa bisa berkata kembali.

Bingkisan Cantik Ulang Tahun Anak Anda
Mug Cantik Mengabadikan Rasa Sayangmu

Tulisan lain:
Jejak Kasih Sayang Ibuku
YISC, Persinggahan yang Mengasyikkan
Ucapkan Selamat dan Doa Ulang Tahun Melalui Lagu
Kisah Inspiratif di Chicken Soup for the Soul
Aksi Mahasiswa UI Menjadi Sesuatu Bangettt

Jika mendapat sesuatu dari tulisan ini silahkan di share ke yang lainny bisa ke FB, Twitter, Blog dan Email dengan mengklik logo-logo di bawah tulisan ini. Tolong juga berikan komentar atau rating terhadap tulisan ini. Apapun komentarnya, berapapun ratingnya, menjadi masukkan yang berarti buat saya.

Terima Kasih
Warsa Tarsono
HP: 0818 995 214/021-96318167
My Blog-Anugerah
wtarsono@yahoo.com
FB: Warsa Tarsono
Twitter: @wtarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar